Selasa, 10 Maret 2009

SAAt mata tak mampu lagi menatap, semua hilang dan pergi
saat pergi tak kunjung kembali hanya ada harap yang merelakannya
kini setiap manusia hanya pada sebuah masa
saat-saat yang pasti akan tiba
entah kapan
saat ini, esok, lusa, atau kapan?
kembali hanya ada harap yang menyulap dinding maha keras dari kekerdilan hati
karena dunia hanya dapat menyaksikan
sedang Tuhan selalu memberi kesempatan
dan kita hanya bisa lebih banyak menyiakan
benarkah??????????????

Jumat, 06 Maret 2009

ketik cita membuyarkan matahati hati kita apakah dunia mampu menghapusnya?
bertanya pada manusia adalah sebuah jawaban atas sepeggal keraguan
ketika ada jawaban yang mampu memecah situasimungkin kita akan mati
dalam sebuah ketergantungan dunia

Rabu, 18 Februari 2009

saat suatu saat Allah perkenankan matahati menyatu di sebuah kealfaan
apakah dunia mengkhianatinya
tyak ada celah yang mampu membinasakan sebuah harapan dalam nyata
hanya apabila kepesimisan mencapai titik puncak dalam hidup
membuat hidup bertambah sulit
tinggi pasti dapat
dapat namun tinggi
akankah begitu terus
apa menjadi terpilih hingga kini

Jumat, 13 Februari 2009

untukmu sahabat

suatu saat sahabat kita akan hidup sendiri

seperti awal sebelum kelahiran kita

menghuni sebuah kepengapan meraja

sehingga kasih sayang Tuhan membekali diri untuk mampu bertahan

sehingga makhluk bernama manusia menjelma indah dalam singgasana dunia kemilau

akankah kita bertahan meraja dalam balutan tangan Tuhan dan menjelma kembali dalam keindahan dahulu yang Tuhan bekalkan pada kita

kini hanya ada asa dalam ikatan cinta

padaku

untuk bertahan menjadi prahara dunia dewasa.

Selasa, 10 Februari 2009

Gula

Tak ada yang lebih gusar melebihi makhluk Allah yang bernama gula pasir. Pemanis alami dari olahan tumbuhan tebu ini membandingkan dirinya dengan makhluk sejenisnya yang bernama sirop.

Masalahnya sederhana. Gula pasir merasa kalau selama ini dirinya tidak dihargai manusia. Dimanfaatkan, tapi dilupakan begitu saja. Walau ia sudah mengorbankan diri untuk memaniskan teh panas, tapi manusia tidak menyebut-nyebut dirinya dalam campuran teh dan gula itu. Manusia cuma menyebut, "Ini teh manis." Bukan teh gula. Apalagi teh gula pasir.

Begitu pun ketika gula pasir dicampur dengan kopi panas. Tak ada yang mengatakan campuran itu dengan 'kopi gula pasir'. Melainkan, kopi manis. Hal yang sama ia alami ketika dirinya dicampur berbagai adonan kue dan roti.

Gula pasir merasa kalau dirinya cuma dibutuhkan, tapi kemudian dilupakan. Ia cuma disebut manakala manusia butuh. Setelah itu, tak ada penghargaan sedikit pun. Tak ada yang menghargai pengorbanannya, kesetiaannya, dan perannya yang begitu besar sehingga sesuatu menjadi manis. Berbeda sekali dengan sirop.

Dari segi eksistensi, sirop tidak hilang ketika bercampur. Warnanya masih terlihat. Manusia pun mengatakan, "Ini es sirop." Bukan es manis. Bahkan tidak jarang sebutan diikuti dengan jatidiri yang lebih lengkap, "Es sirop mangga, es sirop lemon, kokopandan, " dan seterusnya.

Gula pasir pun akhirnya bilang ke sirop, "Andai aku seperti kamu."
**
Sosok gula pasir dan sirop merupakan pelajaran tersendiri buat mereka yang giat berbuat banyak untuk umat. Sadar atau tidak, kadang ada keinginan untuk diakui, dihargai, bahkan disebut-sebut namanya sebagai yang paling berjasa. Persis seperti yang disuarakan gula pasir.

Kalau saja gula pasir paham bahwa sebuah kebaikan kian bermutu ketika tetap tersembunyi. Kalau saja gula pasir sadar bahwa setinggi apa pun sirop dihargai, toh asalnya juga dari gula pasir. Kalau saja para pegiat kebaikan memahami kekeliruan gula pasir, tidak akan ada ungkapan, "Andai aku seperti sirop!" (MN)

Gunung

Seorang anak mengungkapkan rasa penasarannya kepada ayahnya. “Yah, seperti apa sih rupa gunung itu?” Sang ayah tidak menjawab. Ia hanya bilang, “Baiklah, kita berangkat menuju gunung. Akan kamu lihat seperti apa wajah gunung itu.”

Berangkatlah mereka berdua dengan mengendarai mobil. Perjalanan lumayan lama, karena jarak antara tempat tinggal mereka dengan gunung terdekat bisa menghabiskan waktu empat jam dengan mobil. Jarak yang lumayan jauh. Bahkan sangat jauh untuk ukuran seorang anak usia enam tahun.

Ketika perjalanan sudah menempuh hampir separuh jarak, anak itu berteriak, “Hore, gunungnya sudah kelihatan.” Dari balik kaca mobil, sebuah gunung membiru terlihat begitu anggun. Puncaknya menjulang ke langit nan biru dan menembus awan putih. “Oh, indahnya gunung itu,” ucap sang anak. Ia benar-benar kagum.

Mobil pun terus melaju. Jalan yang ditempuh tidak lagi lurus dan datar, tapi sudah berkelok dan naik turun. Wajah gunung pun terlihat hijau karena dedaunan pohon mulai tampak walaupun cuma didominasi warna. Anak itu berujar lagi, “Oh, ternyata gunung itu berwarna hijau. Ada pohon-pohon kecil yang berjajar.”

Sambil menikmati pemandangan sekitar, anak itu pun menyanyikan lagu: “Naik naik ke puncak gunung, tinggi tinggi sekali…” Hingga, perjalanan berhenti pada sebuah dataran yang sangat tinggi. Dari situlah mereka bukan hanya bisa melihat wajah gunung yang asli, tapi juga bisa memegang dan menginjak gunung. Mereka sudah berada di puncak gunung.

“Gunungnya mana, Yah?” tanya anak itu keheranan. “Inilah wajah gunung yang kamu cari, tanah yang sedang kita injak,” jawab sang ayah sambil menunjuk ke tanah yang menanjak dan menurun. Anak itu agak heran. “Ini? Tanah yang gersang ini? Tanah yang cuma berisi batu dan pohon-pohon kecil dengan air sungainya yang keruh?”

Sang ayah mengangguk pelan. Ia menangkap warna kekecewaan yang begitu dalam pada diri anaknya. “Anakku, mari kita pulang. Mari kita nikmati wajah gunung dari kejauhan. Mungkin, dari sanalah kita bisa mengatakan bahwa gunung itu indah…”

***

Ketika seseorang sudah menjadi ‘gunung-gunung’ di masyarakatnya. Di mana, wajahnya bisa dilihat orang banyak, suaranya didengar banyak orang; akan muncul penasaran orang-orang yang melihat dan mendengar tokoh baru itu. Mereka ingin tahu, seperti apakah wajah sang tokoh ketika dilihat dari dekat: perilakunya, kehidupan rumah tangganya, dan hal-hal detil lain.

Sayangnya, tidak semua ‘gunung’ yang terlihat indah ketika jauh, benar-benar indah di saat dekat. Para peminat yang ingin dekat dengan ‘gunung’ itu pun pasti kecewa. Ternyata, ‘gunung’ yang dari jauh indah itu, menyimpan banyak cacat. Keindahannya semu.

Mari, kita bangun ‘gunung-gunung’ diri yang benar-benar indah: baik dari jauh, apalagi dekat. Jangan biarkan mereka yang semula kagum, menjadi kecewa. Jangan sampai ada orang-orang yang berujar persis seperti sang ayah bilang, “Anakku, mari kita menjauh. Mungkin hanya dari kejauhanlah, kita bisa mengatakan bahwa ‘gunung’ itu indah…”

Bayangan

Di sebuah daerah nan jauh dari kota, seorang pemuda terhinggap penyakit aneh. Ia begitu gusar dengan keadaannya. Selalu gelisah. Karena penyakit itu, sang pemuda tak berani keluar rumah siang hari. Takut. Sangat takut.

Sebenarnya, penyakit itu tampak sederhana. Sang pemuda begitu merinding ketakutan ketika melihat bayangan hitam dirinya akibat sorotan cahaya. Tiap kali menemukan bayangan hitam yang mengikuti geraknya, si pemuda berteriak histeris. "Takut! Takut!" Mungkin, bayangan itu terlihat lain olehnya. Seperti sosok hitam misterius yang terus membayangi ke mana pun ia bergerak.

Beberapa tabib telah didatangkan. Ada yang ahli gangguan setan. Ada yang ahli jiwa. Ada juru nasihat. Dan seterusnya. Tapi, semua belum menggembirakan. Sang pemuda masih saja takut. Ia seperti tak akan pernah sembuh.

Hingga suatu kali, seorang guru berkunjung. Dari balik rumahnya nan gelap, sang pemuda mempersilakan kakek tua itu masuk. "Silakan masuk, Guru!" ucapnya pelan. Kakek dan pemuda itu pun duduk dalam ruang gelap. Nyaris, tak seberkas sinar pun bisa menelusup dari celah bilik rumah itu. Ruang-ruang di situ begitu rapat. Gelap dan pengap.

"Ada apa, anakku? Kenapa kau mengurung diri seperti ini?" suara sang kakek memulai pembicaraan. Wajahnya nan teduh bisa terasa jelas oleh sang pemuda. Pertanyaan itu seperti mengungkit-ungkit rasa kesadarannya yang tertimbun takut.

"Aku takut, Guru! Takut!" jawabnya singkat. "Takut apa?" tanya sang guru lagi. "Aku takut dengan bayangan hitam yang terus membuntutiku. Ia seperti menunggu saat aku lengah. Mungkin, sosok hitam itu akan membunuhku!" ungkapnya sambil sesekali menahan tangis.

"Anakku. Tahukah kamu kalau bayangan hitamlah yang mengantarku ke sini. Kini, ia tak dapat masuk bersamaku di ruang ini. Padahal, ia sahabat terbaikku. Kemana pun aku pergi, ia selalu menemani," ucap sang guru tenang.

"Tapi guru, ia begitu menyeramkan!" sergah sang pemuda bersemangat. Sang kakek pun tersenyum. Ia memegang pundak pemuda itu, lembut. "Anakku. Jangan terpengaruh dengan bayangan hitam. Karena itu pertanda kalau seseorang sedang tersorot cahaya," suara sang kakek sambil menahan nafas.

"Anakku," suaranya lagi agak lebih berat. "Songsonglah sumber cahaya, kau akan bahagia. Jangan terus menatap bayangan gelapnya. Karena kau akan takut melangkah!" ucap sang guru meyakinkan.

***

Dinamika hidup kerap menawarkan dua sisi. Satu sisi menawarkan peluang, dan sisi lain memunculkan ancaman. Ibarat cahaya, peluang selalu memberikan harapan. Dan cahaya yang menyorot sebuah benda, pasti akan membentuk bayangan. Itulah sisi gelap sebuah ancaman.

Persoalannya, orang kadang lebih sering melihat sisi gelap ancaman daripada harapan. Mau nikah, takut cerai. Mau bisnis, takut rugi. Mau jadi pejabat, takut kena hujat. Dan seterusnya. Orang pun terkungkung pada rasa takut bayangan hitam yang sebenarnya sisi lain dari sebuah peluang.

Menarik apa yang pernah diajarkan seorang ulama seperti Ibnu Qayyim soal cahaya harap dan ancaman takut. Beliau mengatakan, "Harap dan takut tak ubahnya seperti dua sayap pada seekor burung." Kepakan keduanya akan menerbangkan burung kemana pun ia pergi.

Mungkin benar apa yang dikatakan kakek guru di atas. Songsonglah cahaya harap, dan jadikan bayangan ancaman sebagai teman pengawas. Insya Allah, kita bisa terbang ke puncak cita-cita.